Tari Salonreng
TARI SALONRENG
Tari Salonreng adalah sebuah tarian
adat yang berasal dari Ara (sekarang menjadi Desa Ara dan Desa Lembanna)
Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba.
Sebagai sebuah tarian adat yang
telah berusia cukup tua atau sudah lebih
400 tahun dan tetap dipelihara oleh pewarisnya dari generasi ke generasi
berikutnya. Dalam penampilannya, tarian ini terdiri dari tiga ragam yakni Pakarena Lalo atau Akkarena Tedong, Siusiri dan Salonreng
sendiri.
Tarian ini pada mulanya dibawa ke
Ara oleh bangsawan-bangsawan Gowa pada saat Gowa gencar-gencarnya menjalin
hubungan dengan orang-orang Ara untuk
membuat perahu-perahu untuk armada laut Kerajaan Gowa pada pertengahan abad
XVII yang memaksa banyak orang Gowa
menetap di Ara dan bahkan mempunyai pemakaman khusus yang disebut dengan
Pakkuburang Tu Gowaya. Dalam tradisi
lisan orang Ara dikisahkan bahwa tarian ini dibawa ke Ara oleh rombongan
Karaeng Mamampang dan dikembangkan oleh cucu-cunya. Karena Karaeng Mamampang menetap
di Ara bersama anak-anaknya, maka tarian ini akhirnya menjadi identitas orang
Ara. Kedudukan tarian ini lebih kuat lagi pada saat anak dan cucu Kareng Mamampang
menikah dengan bangsawan-bangsawan Ara juga terutama pada saat Saloko
Daeng Makatti atau Bakkakterak menikah
dengan Daeng Sikati Bunting Berua, gadis cantik asal Ara.
Dalam catatan-catatan lontara di
Ara dikisahkan bahwa tarian ini sering dijadikan sebagai tarian hiburan para
bangsawan Gowa dan Ara sambil menunggu
selesainya perahu mereka. Tarian ini juga pernah dijadikan hiburan pada saat
Sultan Hasanuddin akan berperang di Buton dan singgah di Tanah Beru untuk bertemu para
Karaeng Paliliknya sekaligus
memperbaiki perahunya. Tari Salonreng juga pernah diundang oleh Raja Bone ke
XXIII La Tenritappu dan mencatat dalam
buku hariannya (copy lontara terlampir) dan juga sesuai dengan cerita
lisan Ara bahwa pernah berlayar ke Bone selama dua hari karena diundang oleh
Raja Bone. Dalam buku Harian La Tenritappu dia mencatat:
Ammula
tudang ri baruga utettong masalonreng najaga (20 September 1793)
Ammula tudang ri baruga utettong
masalonreng najagawa jemmak e(21 September 1793)
Pada jaman kolonial
Belanda, tarian ini juga sering diundang untuk memeriahkan pesta atau pada
perayaan-perayaan dan pasar malam di
Bantaeng, Bulukumba, Kajang dan lain-lain. Dan yang paling memperhatikan tarian
ini adalah saat residen Bantaeng Bulukumba dipegang oleh Willem Delfhout yang membuat tempat
pementasan Salonreng sekaligus
sebagai tempat pertemuan di Ara dan dikenal dengan Barugaya sekitar tahun 1754 (saat ini ditempati oleh SD.No.161 Ara).
Pada saat itu residen mendapat
perintah dari Gubernur Sulawesi
van Clootwijk untuk menyalin beberapa lontara
di Ara dan Bira. Salah satu lontara
yang dipinjam di Ara untuk disalin adalah Lontara
Jayalangkara dan masih menjadi buah bibir di Ara pada saat lontara tersebut diturunkan dari rumah
penyimpananya. Tarian ini mengalami kemunduran pada saat penjajahan Jepang
tahun 1942, karena dilarang untuk dipertunjukkan dimananapun juga dan
meninggalkan sebuah kisah tersendiri di Ara yang disebut dengan PIRAUNNA I SARI DAENG KAPALA. Tarian ini
kembali aktif pada tahun 1960an yang ditandai dengan dijadikannya sebagai
satu-satunya hiburan pada malam kenegaraan pertama di Kabupaten Bulukumba
tanggal 17 Agustus 1960 dan 1961 atas upanya Bupati Andi Patarai dan Karaeng Ara Andi
Padulungi Pada
tahun 1974, tarian ini kembali tampil pada acara Pagelaran Seni se SUL-SEL yang dilaksanakan oleh
Kodam XIV Hasanuddin di Makassar.
Demikianlah sekilas sejarah dari tarian adat Ara,
tarian tua yang masih terjaga keasliannya. Selamat menyaksikan.
Ara, 7 April 2019
Penulis
Drs. Muhannis,MM
0 komentar — Skip ke Kotak Komentar
Posting Komentar — or Kembali ke Postingan