SENDRATARI DALAM RANGKA MTQ XXVII SULAWESI SELATAN TAHUN 2012 DI KAB.SINJAI
SENDRATARI DALAM RANGKA
MTQ XXVII SULAWESI SELATAN TAHUN 2012 DI
KAB.SINJAI
MOMPOQNA TAJANGNGE RI TANA SINJAI
( AWAL MUNCULNYA CAHAYA
ISLAM DI BUMI SINJAI )
Penulis naskah : Drs.
MUHANNIS.M.M
Masyarakat Sinjai
sejak dahulu kala telah terkenal sebagai masyarakat yang religius bahkan jauh
sebelum kedatangan agama islam di Sulawesi Selatan.Tinggalan-tinggalan
arkeologis yang ditemukan hampir merata diseluruh sudut-sudut kampung Sinjai,
memberikan indikasi yang begitu kuat, betapa masyarakat Sinjai telah memiliki
dasar keyakinan dan kepercayaan yang
begitu mendalam akan adanya sebuah kekuatan di luar dirinya yang harus
disembah. Tingggalan arkeologis berupa dolmen, batu altar, batu dakon,menhir, punden
berundak,lumpang batu,sampai lukisan-lukisan abstrak di gua Cucukang Karampuang
berupa gambar manusia kangkang, perahu bercadik, tombak,panah, kepala rusa,kapak perunggu,bulan dan matahari,garis
pilin-pilin , garis spiral dll adalah
bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan betapa masyarakat Sinjai sejak
dahulu kala telah merindukan akan ajaran keyakinan yang sesungguhnya. Karena
kayanya akan tinggalan arkeologis seperti di Lalengbata Panreng, Ale Kanrung, Ale
Tondong,Ale Bulo2,Tallasa,Karampuang,Caile,Caropo,Pattongko,Turungang,Bonto
Salama,Borong,Baringeng dll mengisyaratkan begitu kayanya Sinjai akan
peninggalan leluhurnya yag sempat diwariskan kepada kita semua.Sehingga tidak
salahlah kalau Thomas Gibson (seorang Antropolog dan dosen Universitas Rochester
Inggeris ) menulis dalam bukunya yang berjudul
Kekuasaan Raja,Syeikh dan Ambtenar bahwa masyarakat Sinjai khususnya Karampuang pada abad 13 dan 14 telah berbudaya tinggi serta telah mengenal
religi dengan ritual-ritualnya yang beragam dan sebagian masih lestari hingga kini.
Sekarang yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah bentuk religi masyarakat Sinjai sebelum
datangnya Islam. Pada jaman itu, masyarakat Sulawesi Selatan telah mengenal
kepercayaan yang begitu kuat akan kekuatan Dewata Seuae,PatotoE,To Palanroe yang
penganut dan pendukungnya merata di seluruh Sulawesi Selatan. Jawabannya adalah
masyarakat Sinjai yakin kepada kepercayaan pada Puang Lohe atau sering
disingkat menjadi Pallohe yang berarti Yang Maha Besar atau Berkuasa. Pallohe
sendiri dalam keperacayaan orang Sinjai di masa lalu dibantu oleh beberapa tau
tenrita atau semacam dewa-dewa antara lain
Cinna Bolong yang menguasai daratan, Cinna Gau’E yang menguasai air dan
pesisir, Dewata ri Toli yang menguasai hutan dan gunung, Sangiaserri yang
menguasai padi dll. Bentuk kepatuhannya adalah
dengan aktif menjalankan beberapa ritual kuno seperti Marumatang yang
anda sedang saksikan saat ini. Marumatang ini dimaksudkan mengundang roh-roh leluhur untuk datang
meyaksikan aktivitas mereka sebagai manifestasi akan kecintaannya kepada
leluhur. Marumatang diawali dengan pengambilan air suci pada tempat-tempat
tertentu dengan dipimpin oleh sanro serta pinati. Ritual
mappano’.mattoana,mappaenre’ serta beberapa ritual lain mengiringi Marumatang
ini yang intinya adalah persembahan kepada roh leluhur. Namum demikian, setinggi
apapun kecintaannya kepada leluhur, semuanya bisa berubah dalam sekejap karena
munculnya cahaya Islam. Persoalannya adalah para sanro mereka tidak mampu
menjawab beberapa hal yang sifatnya supranatural, sehingga keyakinan masyarakat
merosot perlahan-lahan sampai datangnya berita tentang islam.
Awal persentuhan
Islam dengan masyarakat Sinjai diawali dengan datangnya Syekh Ahmad dari Aceh
yang tinggal di Lamatti bahkan sempat mempersunting bangsawan Lamatti dam
melahirkan dua putra yang juga menjadi penyiar agama.Anak-anaknya
memperkenalkan agama islam ke Bone ( yang sulung) dan semenanjung Bira Bulukumba yang dikenal
dengan Syekh Abdul Rahman ( yang bungsu). Syekh Ahmad ini memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat
termasuk kepada Arung Lamatti ke XI La Towa Suro sebagai Arung Lamatti yang pertamakali
mengenal Islam. Seiring dengan datangnya Khatib Bungsu atau populer disebut
dengan Datuk Tiro di Bulukumba yang telah berhasil mengislamkan Raja Tiro
Karaeng Launru Daeng Biasa pada tahun
1604, maka Arung Tondong ke IX yang bernama I Tohokke berupaya pula mengenal
Islam dengan mengutus Puang Belle’ dan Petta Massabangnge untuk belajar Islam
langsung ke Tiro.Sebelum Tiro Bulukumba, berhasil juga diislamkan daerah Kerajaan Luwu dengan
rajanya Datuk La Patiware’ Daeng Parebbung yang berkuasa sekitar tahun
1585-1610 yang menyatakan masuk islam pada tanggal 15 Ramadhan 1013 Hijeriah
atau 4 Februari 1603 Masehi .Yang mengislamkannya adalah Khatib Sulung Syekh Sulaeman Al-Busyeri atau
lebih populer dengan nama Datuk Patimang.
Karena syiar islam
telah merambah wilayah Sinjai,maka masyarakat mulai gusar dengan keyakinan
Pallohenya. Apalagi kumandang adzan dan
pembacaan ayat suci Al Qur’an telah mulai terdengar yang mengakibatkan
masyarakat menggantungkan harapannya kepada para sanro hanua.Karena para sanro
tidak bisa memuaskan, maka mereka menghadap rajanya untuk mengatasi kebimbangannnya
akan adanya ajaran baru. Raja Bulo-Bulo waktu itu bernama I Daomo Mabbissuneng EppaE yang
bersuamikan Arung Lamatti ke VIII
bernama La Paddenring Arung Pali’E sedang
dalam keadaan tegang karena terjadi perang besar antara Gowa dengan Bone atau dalam
sejarah dikenal dengan Perang Tobala,maka kehendak masyarakat utnuk mempertanyakan islam
itu kepada raja untuk sementara dibatalkan. Pada perang tersebut suami Arung
Bulo-Bulo La Padenring yang juga sebagai raja Lamatti ,wajib mewakili
Sinjai dalam perang Tobala dengan
memimpin rombongan pasukan Sinjai menuju perang Tobala untuk membantu Gowa
sesuai dengan ikatan perjanjian sebelumnya untuk saling membantu apabila ada
serangan atau kesusahan. Pada perang yang berlangsung sengit ini, La Padenring
akhirnya tewas bersama beberapa pasukannya. Setelah suaminya meninggal, dia
menikah kembali dengan keluarga suaminya yang bernama La Patolai Matinroe ri
Salassana yang akhirnya melahirkan 3 orang anak yang terdiri dari 2 laki-laki (
La Pateddungi dan La Massiajeng ) serta seorang wanita yang bernama I
Makkatareng. Pada saat pemerintahan I Daomo Mabbissuneng Eppa’E telah dihasilkan dua perjanjian penting
antara Sinjai dengan Gowa Tallo yakni perjanjian pertama dengan Raja Tallo ke
IX I Mallingkaang Daeng Manyonri Sultan Abdullah Awalul Islam atau lebih populer
dengan nama Karaeng Matoayya yang antara
lain berbunyi,Rekko
runtukki deceng Gowa riele’na,Tellu Limpoe ri Arawienna,pakkotopa passibalinna
sehingga pada saat Islam diterima di Gowa dan Tallo maka sepakatlah raja-raja Sinjai mengutus 40 orang
pembesarnya utuk mempertanyakan
keislaman ini setelah ada pemberitahuan dari Gowa akan islam itu sendiri ke
Sinjai dengan membandingkan apa yang telah diketahui oleh orang Tondong dan Lamatti tentang islam.Rombongan itu dipimpin oleh 4 orang bangsawan yakni dua
orang arung yaitu Arung Tondong dan Arung Sapotinggi, serta dua orang bangsawan
yaitu seorang bangsawan Saukang dan seorang
bangsawan Samataring yang masing-masing membawa sepuluh orang
warganya.Kehadiran mereka di Gowa diterima oleh Tomarilaleng yang bernama
Karaeng Popo.Karaeng Popo sendiri adalah orang kepercayaan istana Gowa yang
bertugas hingga raja Gowa ke XVI atau era Sultan Hasanuddin.Begitu dipercayanya
beliau,maka dia menjadi utusan khusus Sultan Hasanuddin menemui Jenderal Joan
Maetsuyker di Batavia untuk memikirkan perdamaian di Sulawesi Selatan akibat
perang yang makin meluas. Atas perintah Sultan Hasanuddin, beliau pernah berangkat ke Batavia untuk berunding dengan kolonial dan
kembali dari Batavia tanggal 24 November 1660. Karaeng Popo sendiri sewaktu
melayani tim pencari kebenaran Islam dari Sinjai mengajak untuk tetap tinggal
di Gowa menunggu dan menyaksikan shalat Jumat pertama di Masjid Tallo Makassar
tanggal 19 Rajab 1016 H atau tanggal 9 November 1607 ( Catatan dari H.Basrah Gising,2002 hal.178).Perjanjian kedua
adalah dengan I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng raja
Gowa ke X yang memerintah Gowa pada
tahun 1546-1565 yang isi perjanjiannya
antara lain berbunyi,, rilaleng
duniki Gowa natimpakki Tellulimpoe,rilaleng alebbongngi Gowa muampaiki.
Isi perjanjian yang lain adalah tessi tajeng alilungi.tassiluppe maccekkongngi,siala
pappakainge,tassiakkareng pabbata,rebba sipatokkongi,iyya mpelaiki adanna,iyya
tonna natenreq ajuara. Perjanjian ini dilaksanakan di
Aruhu di bawah pohon beringin dan disaksikan oleh semua raja di Sinjai.Tapi
sayang sekali, menjelang realisasi semua
perjanjian antara Gowa dengan Sinjai, tiba-tiba I Daomo Mabbissuneng Eppae
meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya dari suami kedua yaitu La
Pateddungi, walaupun masih muda karena saat itu baru beranjak remaja.Setelah
diangkat menjadi raja Bulo-Bulo ke IX menggantikan ibunya, dia mengundang Datok Ri Bandang untuk datang
langsung ke Sinjai memperkenalkan agama Islam kepada seluruh masyarakat
Bulo-Bulo dan Sinjai termasuk kepada dirinya dan keluarganya, tentunya setelah
mendengarkan laporan dari tim yang pernah dikirim oleh ibundanya I Daomo
Mabissuneng Eppa’E serta membandingkan apa yang telah dipraktekkan oleh
sebagian orang Lamatti dan Tondong. Tentu saja atas restu kerajaan lain di
Sinjai. Tak lama setelah dia dilantik menjadi Arung Bulo-Bulo, dia menyampaikan lamarannya kepada I Sabesia Karaeng Lammoro putri dari I Manggorai Daeng Mammetta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo raja Gowa
ke XII yang memerintah Gowa pada tahun 1565-1590
dan lamarannya diterima dengan mahar Sompa Toselli. Dalam perkawinannya, beliau
tidak mempunyai keturunan karena tidak
lama setelah pernikahannya, La Pateddungi meninggal dunia karena sakit. Kemudian I
Sabesia Karaeng Lammoro dilamar lagi ( sebagai isteri ke 3 ) oleh pengganti La
Pateddungi atau Arung Bulo-Bulo ke X yaitu
Lamassiajeng ( adik kandung La Pateddungi sendiri ) dan lamarannya
diterima dengan ketentuan bahwa anak yang akan dilahirkan kelak harus menjadi
Arung di Bulo-Bulo. Karaeng Lammoro akhirnya melahirkan seorang putri cantik
yang bernama Wennang Pute Daeng Tateya To Rilerang ( versi Makassar
Bannang Kebo ) yang kelak mejadi Arung
Bulo-Bulo ke XI sekaligus yang diundang mewakili Sinjai untuk menyaksikan dan
menghadiri penandatanganan perjanjian
Bungaya Pertama antara Gowa dengan Belanda
tanggal 18 November 1667 ( walau dia sendiri tidak setuju dengan
Perjanjian Bungaya sehingga digelar Daeng Tateya atau Si Penolak ).Untuk
menghadirkannya, panitia harus mengirim
usungan ke Sinjai lengkap dengan pengusungnya, sehingga beliau mendapat gelar
To Rilerang atau Yang Ditenggerkan atau Yang Diusung. Wennang Pute ini memang
sangat dihargai oleh Kompeni, selain karena pengaruhnya juga karena dalam
darahnya juga mengalir darah Gowa.Begitu dihargainya,maka saat pelantikan La Tenritatta To Erung Arupalakka Petta
Malampe’E Gemme’na sebagai raja Bone ke 14 pada tahun 1667 di Bontoala Makasar
sebagai raja Bone,beliau diundang lagi untuk menghadirinya.Karena kecewa dengan
pindahnya kekuasaan dari Gowa kepada Arupalakka dan menghormati keluarga
Gowanya, maka dia memerintahkan kepada kerabatnya sekaligus Sullewatangnya
yaitu Arung Pao La Mato untuk hadir pada acara tersebut untuk menggantikan
dirinya sekaligus wakil dari Sinjai. Diakhir kepemimpinannya,Wennang Pute
menikah lagi dengan Datu Pammana Wajo
dan melahirkan seorang anak yang bernama I Pada Daeng Malele ( Arung Bulo-Bulo
XIII ) yang kelak bersuamikan dengan Datu Soppeng. Setelah berpisah dengan Datu
Pammana, beliau menikah lagi dengan Datu Sidenreng ( Sidrap) dan melahirkan
seorang anak pula yang bernama I Sitti Daeng Mate’ne. Suatu bukti betapa orang
Sinjai sejak dahulu telah menjalin hubungan begitu erat dengan deaerah-daerah
lain di Sulawesi Selatan.
Pada saat
pemerintahan La Pateddungi sebagai Arung Bulo-Bulo, dia mengumpulkan para raja di Sinjai yakni raja
Tellu Limpoe ( Tondong dan Lamatti ) serta raja-raja Pitu Limpoe (
Turungeng,Terasa,Manimpahoi,Manipi, Suka, Balasuka dan Tombolo Pao ) dan
mengingatkan akan perjanjian sebelumnya pada saat pemerintahan Ibundanya,
sekaligus menyampaikan keinginannya mendatangkan langsung Datuk Ri Bandang
untuk menyebarkan tajang
pole urai’, tajang asellengngeng atau cahaya dari arah barat, cahaya islam.
Akhirnya Datuk ri Bandang yang nama lengkapnya adalah Khatib Tunggal Abdul
Makmur Datuk Ri Bandang yang sebelumnya telah mengislamkan Gowa pada tanggal 22 September 1605 atau 9
Jumadil Awal 1014 Hijeriah datang dan berlabuh di Sungai Sanjai ( Takalala )
atas permintaan La Pateddungi kepada raja penguasa sungai tersebut yaitu Arung
Sanjai yang bernama Ma Leto’E. Datuk ri Bandang datang ke Sinjai dengan perahu
Padewakang didampingi oleh Arung Cenrana ( penerjemah bahasa Bugis) dan Ince
Ading ( penerjemah bahasa Makassar dan Melayu ). Akhirnya, saat itu dengan
kebulatan tekad, para raja di Sinjai menyatakan diri dan seluruh rakyatnya
menerima agama Islam sebagai keyakinan baru pada bulan Desember 1607.
Diterimanya agama Islam sebagai agama resmi di Sinjai, ternyata diikuti oleh
daerah lain seperti Sidenreng Rappang dan Soppeng mengikuti jejak Sinjai dengan
diterimanya pula agama Islam sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1609 oleh Datu
Soppeng yang bernama Datu Beoe yang
memerintah Soppeng pada tahun 1601-1620.Kehadiran Islam di Soppeng ini adalah
atas jasa dari Karaeng Matoaayya atau lebih dikenal dengan nama I Mallingkaan
Daeng Manynyonri, Mangkubumi Kerajaan Gowa . Setelah Soppeng dan Sidrap, menyusul
Kerajaan Wajo yang menerima Islam melalui rajanya atau popular dengan gelar
Arung Matoa yaitu Arung Matoa Wajo ke 12 yang bernama La Sangkuru Mulajaji dengan gelar Islam La Sangkuru Patau Sultan Abdul Rachman yang menyatakan menerima Islam sebagai
agamanya serta rakyatnya pada tanggal 15
Syafar 1020 H atau tahun 1610. Pada
saat Karaeng Matoayya melanjutkan
pengislaman didaerah Bugis lain maka dia
menunjuk seorang ulama dari Gowa yang bernama Datuk Sulaeman untuk memberikan
pelajaran keislaman di Wajo. Setelah Wajo, menyusul Kerajaan Bone yang menerima
agama Islam sebagai agama resminya pada tahun 1611 tepatnya tanggal 20 Ramadhan 1020 H. Raja
Bone yang meneima Islam sebagai agama kerajaan adalah La Tenri Ruwa dengan gelar Islam Sultan Adam atau
Adamulmarhum Kalinul Awalul Islam.
Keputusannya sendiri mendapat tantangan dari Dewan Adat atau Ade Pitue yang
akhirnya dia dilengserkan dari jabatannya sebagai Raja Bone sehingga meninggalkan Bone menuju Makassar
dan terakhir tinggal dan wafat di Bantaeng. La Tenri Ruwa sendiri digantikan
oleh La Tenripale Arung Timurung sebagai
Raja Bone ke 12.
Setelah Bulo-Bulo
memeluk Islam,maka resmilah agama islam sebagai agama resmi kerajaan di seluruh
wilayah Sinjai termasuk di pegunungannya. Sampai abad-abad berikutnya telah
lahir beberapa ulama kharismatik seperti Petta Maccambangnge di Sinjai
Tengah,Tuanta Bontopale di pesisir pantai ,Tuanta Bontosalama atau Tomaeppe
Daeng Situncu,Guru Batara,Puang Janggo di pegunungan dll. Karena Perkembangan
Islam yang begitu pesat di awal kedatangan islam, para raja berfikir lagi untuk
mendirikan mesjid atau mushallah.Mesjid pertama di Sinjai adalah mesjid Al
Mujahidin di Bulu Lohe Aruhu yang dibangun pada tahun 1613( sekitar 4 kilo meter
dari lokasi pembukaan MTQ dan masih utuh hingga kini) yang dibangun oleh La
Towa Suro Arung Lamatti ke XI.Mesjid ini telah dipugar besar-besaran untuk yang
pertama kali oleh La Makkuraga Daeng Pagau Arung Lamatti ke XXXVI ( kakek
Bupati Sinjai saat ini Andi Rudianto
Asapa ) yang karena kecintaan rakyat kepada rajanya, maka sewaktu dia meninggal
dunia,oleh warganya, memakamkan beliau di dalam mesjid yang telah beliau pugar
sehingga mendapat gelar anumerta Matinroe ri Masigi’na. Pada saat pemugaran mesjid
ini, oleh La Makkuraga Daeng Pagau Matinroe ri Masigina,beliau tetap
mempertahankan bentuk aslinya berupa bentuk limas dan joglo, sehingga gambaran
akan model mesjid pertama di Sinjai itu tetap tampak hingga kini. Sebuah
pemikiran yang perlu kita acungi jempol akan kecerdasan dari beliau untuk
pelestarian sebuah cagar budaya islam di Sinjai. Mempertahankan bentuk aslinya
ini, tidak lepas dari nasehat orang tuanya yakni Baso Cilellang Daeng Siyabeng
putra dari I Kamile Daeng Towa Paleke
Kadhi Bulo-Bulo. Setelah mesjid di Aruhu dibangun, maka menyusul mesjid ke dua
di Mangarabombang yang dibangun juga pada tahun 1613 juga dan menyusul mesjid di
Manimpahoi pada tahun 1617.Sayang sekali,bentuk asli kedua masjid ini sudah
tidak bisa dipertahankan karena telah diganti dengan model baru.
Akhirnya Islam di
Sinjai mencapai kemajuannya yang luar biasa sampai kini dan para ulama dan
tokoh agamanya telah banyak memberikan warna di Sulawesi Selatan bahkan
Nasional seperti pada jaman perjuangan kemerdekaan muncul nama KH.Muh.Tahir(
Takmir Mesjid Nur Balangnipa Sinjai tahun 1902) dll serta dijaman kemerdekaan
muncul tokoh agama kharismatik lain seperti. H.Marzuki ( pelopor dan pendiri
Pesantren Darul Istiqamah) dll.
Sinjai,
20 Maret 2012
Penulis
Naskah dan Sutradara
Drs.Muhannis.M.M
Pendukung Sendra
Tari
Penasehat : Bupati
Sinjai
Pimpinan Produksi :
Sekda Sinjai,Asisten 2 Sinjai,Kabag Kesra dan Kepala Badan
Pemberdayaan
Perempuan dan KB
Penulis Naskah dan
Sutradara : Drs.Muhannis
Penata Tari : Hj.Ince Hilda Ismail.S.Pd,Hj.Sulastri Idrus
S.Pd,Sutriani S.Pd (tari pra Islam),Suriani
Mas,S.Pd,Farida Latif,A.Herawati,S.pd ( tari masuknya Islam),
Hasaruddin,Aminuddin ( Tari kejayaan Islam).
Penata Teater
: Subhan,S.Pd,Arsal Arif S.Pd,Nur Syamsu.Abidin Wakur.
Musisi : Alwi
Sabani,BA,Nurul akbar,Yusuf Sutejo,A.Rusli,Arie Asfari,Wahyudi,Ilyas,S.Ag,Alyas,Jamal,Aswad,Syamsul
Bahri,Arfandi Asfah,Novan,Erwin,Alimuddin
Daeng Liu,Khairil Akbar.
Penata Rias dan
Kostum : Basri Bolle,S.Sos
Qari : Asri
Pembaca Shalawat
Badar : Sidrah Jabrur dan Asmawati,
S.Pd.M.Pd
Sekolah Pendukung
1.SMAN 1 Sinjai
Utara
2.SMAN 2 Sinjai
Utara
3.SMAN 3 Sinjai
Utara
4.SMKN 1 Sinjai
Utara
5.SMKN 2 Sinjai
Utara
6.SMAN 1 Sinjai
Timur
7.MAN 1 Sinjai
Utara
8.MAN 2 Sinjai
Utara
9. SMPN 2 Sinjai
Utara
10.SMPN 3 Sinjai
Utara
0 komentar — Skip ke Kotak Komentar
Posting Komentar — or Kembali ke Postingan