Free Template, Anime, And Manga

makalah tokoh-tokoh sulawesi selatan (catatan perkuliahan)

Bagikan ke Teman! :




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Orang Bugis-Makassar memiliki berbagai ciri yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India. Dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.
Orang Bugi-Makassar juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata.
Jika merilik masa lalu, Sulawesi Selatan adalah wilayah yang sangat maju, kemajuan itu tidak terlepas dari terdapatnya orang intelektual. Tokoh-tokoh intelektual dari Sulawesi Selatan memiliki pemikiran-pemikiran yang didalamnya terdapat sejumlah nilai-nilai budaya yang mencerminkan kepribadian masyarakat Sulawesi Selatan. Pemikiran tersebut tidak melampaui batas-batas ruang waktu, nilai-nilai dan pemikiran itu memerlukan interprestasi dan reintrerpretasi sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar dalam konteks kehidupan manusia masa kini dan masa-masa mendatang.
 Maka dari itu, untuk lebih mengetahui tokoh-tokoh pemikir Sulawesi Selatan. Selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini yaitu beberapa tokoh cendikiawan / pemikir Sulawesi Selatan yang sangat berpengaruh di zaman terdahulu hingga buah pikiran dan tindakannya masih berguna sampai sekarang. Seperti Nene Mallomo, Kajao Lalido, Syek yusuf, Sultan Hasanuddin, Sultan Alauddin, Amanagappa., Pongtiku dan Puang ri Magalatu

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini, yakni :
-          Jelaskan beberapa tokoh cendikiawan atau pemikir Sulawesi Selatan terdahulu, yang jasa-jasa masih dipakai sampai sekarang ?


BAB II
PEMBAHASAN


A.     NENE MALLOMO
Nene’ Mallomo merupakan salah satu tokoh cendekiawan terkemuka di Sidenreng Rappang (Sidrap) Sulawesi Selatan dan telah menjadi simbol yang melegenda di daerah Bugis tersebut. Nama asli Nene’ Mallomo adalah La Pagala, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama asli Nene’ Mallomoadalah La Makkarau. Nene’ mallomo hidup di masa Kerajaan Sidenreng sekitar abad ke-16 M, pada masa pemerintahan La Patiroi, Addatuang Sidenreng. Beberapa referensi sejarah juga menyebutkan bahwa Nene’ Mallomo lahir sebelum masa pemerintahan Raja La Patiroi, yaitu pada masa Raja La Pateddungi. Nene’ Mallomo wafat pada tahun 1654 M di Allakuang, Sidrap dengan mewariskan salah satu slogannya yang terkenal dan menjadi pedoman hidup orang Bugis yakni “Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata”.
Nene’ Mallomo hanyalah sebuah gelar bagi seseorang, dimana dalam bahasa Bugis Sidrap, kata Mallomo berarti mudah, yang maksudnya bahwa Nene’ Mallomo mudah memecahkan suatu permasalahan yang timbul. Nene’ Mallomomerupakan seorang laki-laki, walaupun kata Nene’ menunjuk pada istilah wanita yang telah lanjut usia (tua). Dalam budaya Bugis dahulu, kata Nene’ digunakan untuk pria/wanita yang telah lanjut usia.
Nene’ Mallomo dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai kapasitas dalam hukum dan pemerintahan serta berwatak jujur dan adil kepada seluruh masyarakatnya. Dalam konteks masalah hukum, Nene’ Mallomo mempunyai prinsip yaitu “Ade Temmakkeana Temmakkeappo”, yang berarti bahwa hukum tidak mengenal anak dan cucu. Hal ini menunjukkan sisi keadilan dan ketegasan dari seorang Nene’ Mallomo, yang juga merupakan salah seorang penyebar agama Islam di daerah Sidrap. 
Salah satu petuah dari Nene’ Mallomo mengatakan bahwa orang Sidrap harus mempunyai sifat Macca (pintar), Malempu (jujur), Magetteng (konsisten), Warani (berani), Mapato (rajin), Temmapasilengeng (adil) serta Deceng Kapang (menghormati orang lain).
Nene’ Mallomo juga merupakan penggagas falsafah hidup masyarakat Bugis Sidrap, yang terkenal yaitu ;
-          Massappa (mencari rezeki yang halal),
-          Mabbola (membangun rumah dari rezeki yang halal),
-          Mappabotting (mempererat silaturrahmi dengan ikatan pernikahan),
-          Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji), dan
-           Mattaro Sengareng (merendahkan diri dan keikhlasan).
Salah satu pappaseng (pesan) Nene’ Mallomo bagi aparat kerajaan adalah “Tellu tau kupaseng : Arung Mangkau’e, pabbicara e, suro e. Aja’ pura mucapa’i lempu e o arung mangkau’. Malempuko mumadeceng bicara, mumagetteng, apa’ riasengnge malempu, madeceng bicara e lamperi sunge’. Apa’ teammate lempu e, temmaruttung lappa e, teppettu malompennge, teppolo masselomo e”,  (Aku berpesan kepada tiga golongan: Maharaja, Juru Bicara dan Utusan. Jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu, hai maharaja. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab yang disebut kejujuran, tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur).
Oleh karena kearifan serta kebijaksanaannya, Nene’ Mallomo sampai saat ini telah menjadi ikon dari Kabupaten Sidenreng Rappang, yaitu Bumi Nene’ Mallomo. 

B.     KAJAO LALIDDO
Kajao Laliddong pada masa kecil bernama La Méllong. Lahir pada tahun 1507 di masa pemerintahan Raja Bone IV Wé Benrigau (1470-1510), dan wafat pada masa pemerinatahan Raja Bone VIII La Inca Matinroé ri Addénénna. Masa kecil hingga remajanya diperkirakan pada masa pemerintahan La Tenri Sukki Mappayungngé. Dikenal sebagai seorang cendikiawan, negarawan, dan diplomat ulung yang buah pikirannya menjadi konsep pangadereng yang kemudian bermetamorposis menjadi pola dasar pemerintahan kerajaan di negeri-negeri Bugis dan Makassar pada umumnya, khususnya Kerajaan Bone. Pangadereng ini pula menjadi prinsip hidup masyarakat Bugis-Makassar dalam menjalani kehidupan sehari-hari. La Méllong juga dianggap sebagai seorang negarawan yang mempunyai pemikiran jauh ke depan.
Kajao, sebutan bagi seorang cendekiawan di Kerajaan Bone, bukan sebuah nama yang karena kebetulan saja dia orang tua, seperti pemahaman sekarang ini. Kajao, seperti juga Boto bagi Kerajaan Gowa dan To Acca di Kerajaan Luwu, adalah pemberian gelar karena kelebihan-kelebihan yang melebihi kebanyakan orang tua lainnya. Di Kerajaan Bone, justru merupakan posisi istimewa, buktinya tidak ada lagi sebutan Kajao sesudah Kajao Laliddong.
Salah satu ajaran Kajao Laliddong tentang politik dan pemerintahan adalah : “ Luka taro arung telluka taro ade Luka taro ade telluka taro anang,” yang artinya secara bebas bahwa, keputusan raja dapat dibatalkan oleh kehendak dewan adat, namun ketetapan dewan adat dapat dianulir oleh kesepekatan rakyat banyak.
Makna ajaran tentang demokrasi Bugis yang diamanahkan oleh Kajao Laliddo dengan menempatkan rakyat sebagai kunci keputusan dalam suatu pemerintahan, menunjukkan arti demokrasi yang sesungguhnya, padahal Kajao Laliddo bukanlah orang yang pernah mengecap pendidikan formal apalagi pendidikan barat. Makna, ajaran ini justru sekarang diimplementasikan dalam proses demokrasi melalui perwakilan rakyat ( MPR, DPR, DPRD).
Ajaran-ajaran Kajao Laliddo termuat dalam berbagai lontara, diantaranya LATOA seperti yang dikutif di bawah ini:
Dalam dialog Kajao Laliddong dengan Arungponé; “aga tanranna namaraja tanaé” (apa tandanya apabila negara itu menanjak kejayaannya)?”
Berkata Kajao Laliddong; “dua tanranna namaraja tanaé Arungponé, seuwani malempu namacca Arung Mangkaué, maduanna tessisala-salaé.” (Dua tanda negara menjadi jaya Arungpone, pertama raja yang memerintah memiliki sifat jujur lagi pintar, kedua tidak bercerai-berai/bersatu). “Naiya tulaé pattaungeng Arungpone, sewwani narekko matanré cinnai Arung Mangkaué, maduanna naterini warangparang tomabbicaé, matellunna nakko sisala-salani taué ilalengpanua, tanranna toparo narekko maeloni baiccu tanamarajaé.” (adapun yang menyebabkan , apabila raja yang memerintah memiliki selera/keinginan yang tinggi melebihi kemampuannya,kedua apabila pejabat pemerintah menerima sogok, dan ketiga apabila apabila terjadi perselisihan di dalam negeri, tanda itu pula lah negara besar menjadi kecil.

C.     SYEKH YUSUF
Syekh Yusuf merupakan putera asli Makassar, lahir di Kerajaan Gowa pada tahun 1626 M. Dari asal usulnya, beliau merupakan keturunan bangsawan di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa dan Bone. Ayahnya, Abdullah, bukan bangsawan, tetapi ibunya, Aminah, keluarga Sultan Ala al-Din. Dia dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid. Pada usia 15 tahun dia belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana.
Dari segi ketokohannya, ia bukan hanya ulama syariat, tapi juga sufi, pemimpin tarikat, pengarang, pejuang, dan musuh besar kompeni Belanda. Oleh pemerintah kompeni di Hindia Timur (Indonesia), Syekh Yusuf dianggap duri dalam daging, hingga ia diasingkan ke Ceylon (Srilangka), kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan dan wafat di pengasingannya, Cape Town, pada tahun 1699 M.
Pada zamannya (abad ke 17), Syekh Yusuf dikenal hingga empat negeri, yakni: Makkah, Banten, Sulawesi Selatan, Ceylon dan Afrika Selatan. Beliaulah peletak dasar kehadiran komunitas Muslim di Afrika Selatan dan Ceylon bahkan dianggap bapak bangsa rakyat Afrika Selatan, karena perjuangannya mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan warna kulit. Bayangkan, sejak usia 18 tahun (abad ke 17) Syekh Yusuf telah mengembara selama 20 tahun untuk mencari ilmu dari Makassar ke Banten, Aceh, Yaman, Makkah, Madinah dan Damaskus, mendalami tasawuf dan mengajar di Masjidil Haram pada usia 38 tahun.
D.    SULTAN HASANUDDIN
 I Mallombasi Matatawang Sultan Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape, atau lebih tersohor dengan gelar Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa XVI,  (1653-1669). Yang terkenal keberaniannya menantang penjajah Belanda dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa. Ia terkenal  dengan julukan Ayam Jantan dari Benua Timur.
I Mallombasi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan gelar Sultan Hasanuddin pada bulan Nopember 1653 menggantikan ayahnya pada saat beliau berusia 22 tahun. Dua tahun setelah dinobatkan Sultan Hasanuddin kemudian menikahi I Bate Daeng Tommi atau I lo'mo Tombong Karaeng Pabineang dan menjadi permaisurinya. I Bate Daeng Tommi adalah putri Mangngada' Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang mangkubumi Kerajaan Gowa.
Begitu berani, kesatria dan bijaksana dalam tiap tindakannya, sehingga Sultan Hasanuddin dihormati dan disegani oleh pihak lawan dan kawan. Oleh sebab itu, dari pihak Belanda sendiri Sultan Hasanuddin itu dinamainya : ,,Haante van het Oosten” (Ayam Jantan Benua Timur), dan V.O.C sendiri mengakui hal tersebut.
Sultan Hasanuddin adalah seorang raja yang sangat cakap dalam ilmu pengetahuan maupun pemerintahan . tidak heran ketika masa pemerintahan ayahandanya dia ernah dipercaya memegang tiga portofolio pemerintahan yaitu Urusan Dalam Negeri , Luar Negeri, dan Pertahanan Negara. Selain itu, ia juga diserahi tugas dan jabatan berpangkat yang disebut “Karaeng Tumakkajannangang”, yang mengurus pertahanan Negara dengan menggebleng putra-putra raja dan gellarang agar berjiwa ksatria dan berbudi luhur.
Keperkasaan Sultan Hasanuddin sebagai panglima perang, yang berhasil mengantar Gowa sebagai kekuatan maritime yang hebat dalam setiap pertempuran melawan Belanda sehingga Hasanuddin dan pasukannya digelari “Ayam-ayam Jantan dari Benua Timur” oleh Belanda.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni. Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.Wafat di Katangka ,Makassar dan dimakamkan di Kompleks makam raja-raja Gowa, termasuk di dalam pemakaman itu sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pelantikan bagi raja-raja Gowa, dan sebuah mesjid kuno.

E.     Sultan Alauddin
Nama asli dari Sultan Alauddin adalah I Mangarangi Daeng Manrabia, yang merupakan raja gowa XIV yang pertama-tama memeluk agama islam. Pembawa agama islam di kerajaan gowa tersebut adalah tiga Dato dari negeri Minangkabau, masing-masing Dato ri Bandang, Dato Petimang dan Dato Tiro.
Sebelum Islam masuk, para raja Sulawesi selatan sudah pernah membuat perjanjian yang isinya : siapa yang menemukan suatu jalan yang lebih baik, berjanji untuk memberitahukan tentang jalan itu kepada raja-raja lainnya. Islam dianggap sebagai jalan terbaik, maka tugas Sultan Alauddin adalaha menyampaikannya kepada raja-raja lainnya.
Namun perjanjian itu telah banyak disepelekan oleh sebagian raja-raja Sul-sel. Sultan Alauddin yang menjadikan Gowa sebaga pusat penyebaran agama islam di wilayah timur nusantara ini, terus mengembangkan Islam baik secara damai maupun perang.
Beberapa kerajaan di daerah Bugis, seperti Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng dan lainnya menolak keras ajakan Raja Gowa. Akibat dari penolakan itu, raja gowa terpaksa angkat senjata  dan mengirim bala tentaranya  ke daerah itu. Tahun 1608 beberapa pasukan gabungan kerajaan Bugis mengalahkan Gowa, namun pada tahun berikutnya, semuanya berhasil ditundukkan dan bersedia menerima Islam sebagai agama kerajaannya. Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609, Wajo tahun 1610, Bone tahun 1611. Perang Islam di tanah Bugis  saat itu disebut Musu Assellengeng (Perang Islam).
Setelah sekian lama memerintah, Sultan Alauddin wafat pada 15 Juni 1639 setelah 45 tahun lamanya mengendalikan pemerintahan. Beliau mendapat gelar Tumenangi ri Gaukanna (Yang mangkat dalam kebesaaran kekuasaannya).
F.     Amannagappa
Amannagappa sebagai salah satu matoa (pemimpin komunitas) di masa itu, berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan perdagangan. "Negeri Wajo" adalah sebuah komunitas yang berhasil mempertahankan aturannya secara independen sampai sekitar dua setengah abad, yang membuat aturannya dari tumpukan pengalaman dan pengetahuan warganya, bahkan mampu meluaskan pengaruh dan efektifitasnya lewat intelektualitas. Berikut rangkuman riset tentang Negeri Wajo di Makassar. Pengangkatan Amanna Gappa sebagai pemimpin dagang seluruh Makassar, dan detil ongkos muatan.
Delapan bulan setelah Amanna Gappa menjadi matoa, dia dipanggil oleh gubernur di Fort Rotterdam dan diangkat menjadi kepala seluruh pedagang di Makassar. Detil ongkos angkutan barang menjelaskan tentang berapa yang harus dibayarkan jika muatan seorang pedagang akan diantar dari Makassar ke beberapa pelabuhan di kawasan Nusantara. Kota-kota itu antara lain, Johor, Aceh, Sulu, Kutai, Banjar, Pasir, Sukadana, Palembang, Bangka, Belitung, Manggarai, Bali, dan tentu saja Batavia. Sayang sekali ade allopi-loping yang memuat detil jalur, ongkos dan aturan dagang, tidak termaktub dalam naskah yang khusus bicara tentang matoa dan masa pemerintahannya ini.
Amanna Gappa, seorang peletak dasar Tentang hukum Maritim Internasional. lontarak Amanna Gappa Dikenal dalam bahasa bugis sebagai ade alloping-loping Bicarana pabalue. Kata ini berasal dari bahasa bugis yang jika diartikan secara harfiah berarti Aturan pelayaran dan perdagangan.
Amanna Gappa adalah seorang Ketua Komunitas wajo atau lebih dijenal dengan istilah matoa komunitas wajo di Makaassar. Amanna Gappa kemudian diangkat menjadi Kepala perniagaan di makassar pada abad ke-17 di Kota maritim Makassar. disinilah Amanna gappa kemudian membuat semacam undang-undang pelayaran dan perdagangan. Kelak Dasar daru UU Amanna gappa ini kemudian diadopsi di Eropa dan sampai saat ini dipakai sebagai Hukum maritim Internasional.

G.    Pongtiku
Potingku atau Ne’ Baso  dilahirkan di Pangala, Toraja. Sebagai seorang  anak pemimpin adat yang mempunyai pengaruh besar di Pangala dan daerah di sekitarnya. Pong Tiku sering diajak sang ayah untuk menghadiri pertemuan dengan para pemimpin adat lainnya. Maksud pertemuan tersebut adalah untuk membahas segala hal yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan.
Karena seringkali mendampingi sang ayah ketika menjalankan perannya sebagai pemimpin adat, kemampuan kepemimpinan Pong Tiku pun semakin terlihat. Saat terjadi konflik bersenjata yang melibatkan Pangala dan daerah Baruppu, ia mengambil alih kepemimpinan pasukan dari ayahnya yang sudah memasuki usia senja.
Selanjutnya pada tahun 1898, ia terlibat dalam "Perang Kopi". Dinamakan perang kopi karena Toraja sebagai penghasil kopi yang bermutu tinggi menjadi rebutan para penguasa daerah di sekitarnya. Dalam peperangan itu, Pong Tiku berhadapan dengan pasukan Bone. Namun pada akhirnya peperangan antara Pangala dan Bone dapat diselesaikan dengan damai.
Berkaca dari pengalamannya ketika terlibat dalam Perang Kopi, Pong Tiku kemudian mulai menyadari bahwa ia harus memperkuat pertahanan daerahnya. Ia memanfaatkan kopi sebagai alat barter untuk memperoleh senjata. Benteng-benteng pun mulai dibangunnya di tempat yang dianggapnya strategis, yakni di atas bukit-bukit karang yang terjal sehingga sulit dicapai oleh pihak lawan. Salah satu benteng yang kuat itu bernama benteng Buntubatu.
Selain memperkuat pertahanan daerahnya dengan memperbanyak persenjataan dan membangun benteng, ia juga menjalin persahabatan dengan para penguasa lain di Toraja. Persiapan yang telah dilakukan itu memang sangat berguna di kemudian hari ketika harus menghadapi gempuran Belanda. Seperti pada saat Belanda melancarkan ekspedisi militer guna menaklukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak mau mengakui kekuasaan mereka.

Ekspedisi militer tersebut terjadi pada tahun 1905. Saat itu sejumlah kerajaan berhasil ditaklukkan, seperti Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Masih di tahun yang sama di bulan September, menyusul Datu Luwu yang terpaksa mengakui kekuasaan Belanda. Kemudian komandan militer Belanda di Palopo, yang merupakan ibu kota Luwu mengirim surat kepada Pong Tiku yang meminta agar Pong Tiku melaporkan diri di Rantepao dan menyerahkan semua senjatanya kepada Belanda.
Karena tekad Pong Tiku sudah bulat untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bagi rakyatnya, tentu saja permintaan tersebut ditolaknya. Akibat penolakan itu, pecahlah perang antara Belanda dan Pong Tiku. Pada tanggal 12 Mei 1906, Belanda mulai melancarkan serangan pertamanya ke Pangala, namun serangan itu gagal. Masih di tahun yang sama, tepatnya di awal Juni 1906, kegagalan kembali diterima Belanda ketika melakukan penyerangan terhadap benteng Buntuasu.
Dua kegagalan itu membuat Belanda menambah jumlah pasukan dan persenjataannya. Blokade pun dilakukan untuk mencegah masuknya logistik terutama air ke dalam benteng-benteng Pong Tiku. Untuk menahan serangan Belanda, kondisi alam di daerah Toraja yang berbukit-bukit pun ikut dimanfaatkan pasukan Pong Tiku. Batu-batu berukuran besar digelindingkan bila pasukan Belanda berusaha memanjat bukit-bukit karang menuju benteng.
Air cabaipun digunakan untuk menghalau pasukan Belanda yang berhasil mendekati dinding benteng. Akan tetapi, Belanda yang berbekal peralatan perang yang jauh lebih lengkap menyebabkan peperangan tak seimbang. Pasukan Pong Tiku pun lebih banyak menderita kerugian, gempuran meriam yang secara bertubi-tubi merusak bangunan benteng. Pong Tiku pun terpaksa mengosongkan beberapa benteng. Akan tetapi, benteng Buntubatu yang merupakan benteng utama sekaligus markas Pong Tiku belum berhasil dikuasai Belanda sampai bulan Oktober 1906.
Belanda kemudian menawarkan perdamaian kepada Pong Tiku. Namun tawaran itu ditolaknya dan ia hanya bersedia mengadakan gencatan senjata. Hal itu bertujuan agar ia dapat menghadiri upacara pemakaman jenazah orang tuanya secara adat. Oleh karena itu, ia pun meninggalkan benteng Buntubatu. Kesempatan itu langsung digunakan pihak Belanda untuk memasuki benteng tersebut meskipun masa gencatan senjata belum berakhir.
Seusai menghadiri pemakaman jenazah orang tuanya, Pong Tiku kemudian menuju benteng Alla. Di sana telah berkumpul para pejuang dari berbagai daerah di
Sulawesi Selatan
. Benteng Alla pun diserang Belanda pada tanggal 12 Maret 1907. Akibat serangan itu puluhan pejuang gugur dan ditawan. Namun, Pong Tiku berhasil menyelamatkan diri. Dalam pelariannya dari satu tempat ke tempat lain, ia terus berusaha mengobarkan semangat perjuangan melawan Belanda.
Belanda masih terus melakukan pengejaran hingga akhirnya ia berhasil ditangkap di Lilikan pada awal bulan Juli 1907. Setelah berhasil ditangkap, ia kemudian dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan yang isinya mengakui kekuasaan Belanda. Namun, meskipun berada dalam tekanan, Pong Tiku tetap menolak menandatangani surat tersebut.
Karena terus-menerus melawan dan menolak bekerjasama, Pong Tiku pun ditembak mati Belanda di tepi Sungai Sa'dan. Kematian Pong Tiku sekaligus menandai berakhirnya perlawanan terhadap Belanda di Toraja. Toraja merupakan daerah terakhir di Sulawesi Selatan yang jatuh ke tangan Belanda

H.    Puang ri maggalatu

Salah seorang Arung Matoa yang terkenal karena jujur dan adilnya terhadap rakyatnya, ialah La Tanampare’ Puang ri Magalatu, Arung Matoa ke-IV dari Wajo yang mulai memerintah kira-kkira pada akhir abad ke-15. Nama ayahnya ialah La Tompawanua, yang  kawin ke Palakka dengan We Tenrinai. Dari perkawinan itu lahirlah La Tanampare’ Puang ri Magalatung.
Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun disempurnakan segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public servent) dan konsep Rule of Law (hukum yang dipertuan bukan raja).
Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kabupaten Wajo (walaupun disingkatkan), antara lain berbunyai :

”Maradeka towajoe najajian alena maradeka, tanaemmi ata, naiyya tomakketanae maradeka maneng, ade assama turusennami napopuang”.
Artinya:
Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.
Falsafah orang Bugis yang pada gilirannya menjadi pandangan hidup dan pola perilaku, seperti ditemukan melalui Lontarak Pammulanna Wajo yang memuat petuah-petuah Puang ri Maggalatung. Tentang etos kerja orang Bugis disinyalir merupakan bagian makna siri’ dalam implementasinya.
Pentingnya aplikasi makna siri’‘ terhadap para penguasa (raja-raja) Wajo, tertera dalam pesan Puang ri Maggalatung: Padecengiwi bicara-e, Parakai ampe-ampe malebbi-e, Gau-gau lalo’ tennga-e, Pari tengngai bicara ri tennga-e. Pesan ini bermakna “perbaiki cara bicara jika berbicara, perbaiki tingkah laku mulia dan terhormat, gerak langkah sederhana atau tidak angkuh dan tidak sombong, tempatkan di tengah untuk pembicaraan di tengah, tidak melebihi, tidak memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya”.




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang ada diatas, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :
1.    Nene’ Mallomo dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai kapasitas dalam hukum dan pemerintahan serta berwatak jujur dan adil kepada seluruh masyarakatnya.
2.    Kajao Laliddong ( La Mellong ) mempunyai alur pemikiran diantaranya; nilai-nilai dasar; lempuk,adatongeng, getteng, sipakatau, dan mappesona ri dewata seuwae, menjadi sumber amaccang. Dari nilai dasar dan amacang dilakukan dalam wujud norma-norma pangadereng dan hukum berupa; adat, bicara, rapang dan warik.
3.    Syekh Yusuf  sebagai seorang pejuang sekaligus ulama. Sebagai pejuang, Syekh Yusuf telah menunjukkan dirinya  melalui catatan-catatan sejarah. Ia menjadi seorang pemimpin pasukan yang berdiri langsung di depan menghadapi Belanda. Ia telah berjasa kepada bangsa dan Negara dalam perjuangan suci mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan.
4.    Sultan Hasanuddin yang digelari “Ayam Jantan dari Benua Timur”. Dia sebagai pahlawan nasional bangsa, putra Makassar. Sepanjang hayatnya, ia telah mengguratkan diri dalam suatu episode sejarah yang diwarnai peperangan untuk membebaskan dari kolonialisme Belanda di belahan timur Nusantara.
5.    Sultan Alauddin, merupakan raja gowa XIV yang pertama-tama memeluk agama islam. Sultan Alauddin yang menjadikan Gowa sebaga pusat penyebaran agama islam di wilayah timur nusantara.
6.    Amannagappa merupakan seorang pelaut bugis yang berasal dari Wajo, telah menyusun undang-undang maritime ynag dikenal sebagai hukum Amanna Gappa.
7.    Pongtiku merupakan pahlawan nasional yang berasal dari toraja. Beliau dikenal tokoh yang sangat menentang Penjajahan Belanda.
8.    Puang ri Magalatu, merupakan seorang Arung Matoa uang terkenal karena jujur dan adilnya terhadap rakyatnya. Beliau merupakan Arung Matoa Wajo Ke-IV, beliau juga dikenal sebagai peletak Undang-Undang di negerinya.

B.     Saran
Melalui pembahasan mengenai tokoh-tokoh pemikir Sulawesi-Selatan kiranya dapat dijadikan pedoman bagi generasi-generasi penerus bangsa, khususnya Sulawesi Selatan.





























DAFTAR PUSTAKA

Mangemba, H.D. 1956. Kenallah Sulawesi Selatan. Jakarta : Timun Mas

Tika, Zainuddin. dkk. 2007. Profil Raja-Raja Gowa.. Makassar : Pustaka  Refleksi

Tudjimah, Prof. Dr. 1997. Syek Yusuf  Makassar Rwayat dan Ajarannya.  Jakarta : UI-Press

http://andie-anakkampung.blogspot.com/2010/08/pahlawan-tana-toraja-pongtiku.html
       (diakses pada tanggal 20 Maret 2013)

http://darisrajih.wordpress.com/2008/03/30/riwayat-syeikh-yusuf-al-maqassari/
      (diakses pada tanggal 20 Maret 2013)

http://endraithuujelek.wordpress.com/2009/10/29/sekilas-tentang-nene-mallomo-salah-satu-
      cendikiawan-sulsel/  (diakses pada tanggal 20 Maret 2013)

http://muhammadrusli89.blogspot.com/2013/01/cendekiawan-bugis-kajao-laliddong.html
      (diakses pada tanggal 20 Maret 2013)



















DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................  i
Daftar Isi .......................................................................................................................  ii   
BAB I Pendahuluan
A.    Latar Belakang ................................................................................................  1
B.     Rumusan Masalah ...........................................................................................  1
BAB II Pembahasan
A.    Nene Mallomo .................................................................................................  2
B.     Kajao Laliddo ..................................................................................................  3
C.     Syek Yusuf .......................................................................................................  4
D.    Sultan Hasanuddin ..........................................................................................  5
E.     Sultan Alauddin ..............................................................................................  6
F.      Amanagappa ....................................................................................................  7
G.    Pongtiku ...........................................................................................................  8
H.    Puang ri Magalatu ...........................................................................................  10
BAB III Penutup
A.    Kesimpulan ......................................................................................................  12
B.     Saran .................................................................................................................  13

Daftar Pustaka 









ii
 
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah yang berjudul, “ Tokoh Cendekiawan / Pemikir Sulawesi Selatan ”, ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penulis tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, walaupun telah diusahakan secara maksimal. Namun, penulis berharap agar laporan ini dapat berguna untuk menambah pengetahuan pembaca tentang tata cara penulisan kutipan,catatan kaki, Rujukan, dan daftar pustaka dalam penulisan malakah,artikel, maupun karangan ilmiah.
Penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara moril maupun materil mulai dari proses pencarian bahan hingga penyusunan makalah ini. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis merasa perlu untuk mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.      Ibu Hunaeni, S.S, M.Si selaku dosen pengajar dalam mata kuliah Kapita Selekta Kebudayaan, yang telah memberikan arahan-arahan dalam proses penyusunan makalah ini.
2.      Teman-teman sekelas kami yang senantiasa memberikan banyak partisipasinya baik kritik dan saran terhadap makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini masih memiliki beberapa kekurangan. Penulis mohon untuk saran dan  kritiknya untuk lebih menyempurnakan makalah ini.

                                                                                       Makassar, 1 Maret 2013
                                                                           
                                                                                                          Kelompok  V




i
 


0 komentar — Skip ke Kotak Komentar

Posting Komentar — or Kembali ke Postingan