makalah tokoh-tokoh sulawesi selatan (catatan perkuliahan)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Orang
Bugis-Makassar memiliki berbagai ciri yang sangat menarik. Mereka adalah contoh
yang jarang terdapat di wilayah nusantara. Mereka mampu mendirikan
kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India. Dan tanpa
mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.
Orang
Bugi-Makassar juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai
sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih
tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis
itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La
Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata.
Jika merilik masa lalu, Sulawesi Selatan adalah
wilayah yang sangat maju, kemajuan itu tidak terlepas dari terdapatnya orang
intelektual. Tokoh-tokoh intelektual dari Sulawesi Selatan memiliki
pemikiran-pemikiran yang didalamnya terdapat sejumlah nilai-nilai budaya yang
mencerminkan kepribadian masyarakat Sulawesi Selatan. Pemikiran tersebut tidak
melampaui batas-batas ruang waktu, nilai-nilai dan pemikiran itu memerlukan
interprestasi dan reintrerpretasi sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih
besar dalam konteks kehidupan manusia masa kini dan masa-masa mendatang.
Maka dari itu, untuk lebih mengetahui
tokoh-tokoh pemikir Sulawesi Selatan. Selanjutnya akan dibahas dalam makalah
ini yaitu beberapa tokoh cendikiawan / pemikir Sulawesi Selatan yang sangat
berpengaruh di zaman terdahulu hingga buah pikiran dan tindakannya masih
berguna sampai sekarang. Seperti Nene Mallomo, Kajao Lalido, Syek yusuf,
Sultan Hasanuddin, Sultan Alauddin, Amanagappa., Pongtiku dan Puang ri Magalatu
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun
rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini, yakni :
-
Jelaskan
beberapa tokoh cendikiawan atau pemikir Sulawesi Selatan terdahulu, yang
jasa-jasa masih dipakai sampai sekarang ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. NENE
MALLOMO
Nene’ Mallomo merupakan salah satu tokoh cendekiawan terkemuka di
Sidenreng Rappang (Sidrap) Sulawesi Selatan dan telah menjadi simbol yang
melegenda di daerah Bugis tersebut. Nama asli Nene’ Mallomo adalah La Pagala,
namun ada juga yang mengatakan bahwa nama asli Nene’ Mallomoadalah La Makkarau.
Nene’ mallomo hidup di masa Kerajaan Sidenreng sekitar abad ke-16 M, pada masa
pemerintahan La Patiroi, Addatuang Sidenreng. Beberapa referensi sejarah juga
menyebutkan bahwa Nene’ Mallomo lahir sebelum masa pemerintahan Raja La
Patiroi, yaitu pada masa Raja La Pateddungi. Nene’ Mallomo wafat pada tahun
1654 M di Allakuang, Sidrap dengan mewariskan salah satu slogannya yang terkenal
dan menjadi pedoman hidup orang Bugis yakni “Resopa
Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata”.
Nene’ Mallomo hanyalah sebuah gelar bagi seseorang, dimana dalam
bahasa Bugis Sidrap, kata Mallomo berarti mudah, yang maksudnya bahwa Nene’
Mallomo mudah memecahkan suatu permasalahan yang timbul. Nene’ Mallomomerupakan
seorang laki-laki, walaupun kata Nene’ menunjuk pada istilah wanita yang telah
lanjut usia (tua). Dalam budaya Bugis dahulu, kata Nene’ digunakan untuk
pria/wanita yang telah lanjut usia.
Nene’ Mallomo dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai
kapasitas dalam hukum dan pemerintahan serta berwatak jujur dan adil kepada
seluruh masyarakatnya. Dalam konteks masalah hukum, Nene’ Mallomo mempunyai
prinsip yaitu “Ade Temmakkeana Temmakkeappo”,
yang berarti bahwa hukum tidak mengenal anak dan cucu. Hal ini menunjukkan sisi
keadilan dan ketegasan dari seorang Nene’ Mallomo, yang juga merupakan salah
seorang penyebar agama Islam di daerah Sidrap.
Salah satu petuah dari Nene’ Mallomo mengatakan bahwa orang Sidrap
harus mempunyai sifat Macca (pintar), Malempu (jujur), Magetteng (konsisten),
Warani (berani), Mapato (rajin), Temmapasilengeng (adil) serta Deceng Kapang
(menghormati orang lain).
Nene’ Mallomo juga merupakan penggagas falsafah hidup masyarakat
Bugis Sidrap, yang terkenal yaitu ;
-
Massappa (mencari rezeki yang halal),
-
Mabbola (membangun rumah dari rezeki yang halal),
-
Mappabotting (mempererat silaturrahmi dengan ikatan pernikahan),
-
Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji), dan
-
Mattaro
Sengareng (merendahkan diri dan
keikhlasan).
Salah satu pappaseng
(pesan) Nene’ Mallomo bagi aparat kerajaan adalah “Tellu tau kupaseng : Arung Mangkau’e, pabbicara e, suro e. Aja’ pura
mucapa’i lempu e o arung mangkau’. Malempuko mumadeceng bicara, mumagetteng,
apa’ riasengnge malempu, madeceng bicara e lamperi sunge’. Apa’ teammate lempu
e, temmaruttung lappa e, teppettu malompennge, teppolo masselomo e”,
(Aku berpesan kepada tiga golongan: Maharaja, Juru Bicara dan Utusan. Jangan
sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu, hai maharaja. Berlaku jujurlah
serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab yang disebut
kejujuran, tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati
kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah
yang lentur).
Oleh karena kearifan serta kebijaksanaannya, Nene’ Mallomo sampai
saat ini telah menjadi ikon dari Kabupaten Sidenreng Rappang, yaitu Bumi Nene’
Mallomo.
B. KAJAO
LALIDDO
Kajao Laliddong pada masa kecil bernama La Méllong. Lahir pada tahun 1507 di masa pemerintahan Raja Bone IV
Wé Benrigau (1470-1510), dan wafat pada masa pemerinatahan Raja Bone VIII La
Inca Matinroé ri Addénénna. Masa kecil hingga remajanya diperkirakan pada masa
pemerintahan La Tenri Sukki Mappayungngé. Dikenal sebagai seorang cendikiawan,
negarawan, dan diplomat ulung yang buah pikirannya menjadi konsep pangadereng
yang kemudian bermetamorposis menjadi pola dasar pemerintahan kerajaan di
negeri-negeri Bugis dan Makassar pada umumnya, khususnya Kerajaan Bone.
Pangadereng ini pula menjadi prinsip hidup masyarakat Bugis-Makassar dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. La Méllong juga dianggap sebagai seorang
negarawan yang mempunyai pemikiran jauh ke depan.
Kajao, sebutan bagi seorang cendekiawan di Kerajaan
Bone, bukan sebuah nama yang karena kebetulan saja dia orang tua, seperti
pemahaman sekarang ini. Kajao, seperti juga Boto
bagi Kerajaan Gowa dan To Acca di
Kerajaan Luwu, adalah pemberian gelar karena kelebihan-kelebihan yang melebihi
kebanyakan orang tua lainnya. Di Kerajaan Bone, justru merupakan posisi
istimewa, buktinya tidak ada lagi sebutan Kajao sesudah Kajao Laliddong.
Salah satu ajaran Kajao Laliddong tentang
politik dan pemerintahan adalah : “ Luka
taro arung telluka taro ade Luka taro ade telluka taro anang,” yang artinya
secara bebas bahwa, keputusan raja dapat dibatalkan oleh kehendak dewan adat,
namun ketetapan dewan adat dapat dianulir oleh kesepekatan rakyat banyak.
Makna ajaran tentang demokrasi Bugis yang diamanahkan
oleh Kajao Laliddo dengan menempatkan rakyat sebagai kunci keputusan dalam
suatu pemerintahan, menunjukkan arti demokrasi yang sesungguhnya, padahal Kajao
Laliddo bukanlah orang yang pernah mengecap pendidikan formal apalagi
pendidikan barat. Makna, ajaran ini justru sekarang diimplementasikan dalam
proses demokrasi melalui perwakilan rakyat ( MPR, DPR, DPRD).
Ajaran-ajaran Kajao Laliddo termuat dalam berbagai lontara,
diantaranya LATOA seperti yang dikutif di bawah ini:
Dalam dialog Kajao Laliddong dengan Arungponé; “aga
tanranna namaraja tanaé” (apa tandanya apabila negara itu menanjak
kejayaannya)?”
Berkata Kajao Laliddong; “dua tanranna namaraja tanaé
Arungponé, seuwani malempu namacca Arung Mangkaué, maduanna tessisala-salaé.”
(Dua tanda negara menjadi jaya Arungpone, pertama raja yang memerintah memiliki
sifat jujur lagi pintar, kedua tidak bercerai-berai/bersatu). “Naiya
tulaé pattaungeng Arungpone, sewwani narekko matanré cinnai Arung Mangkaué,
maduanna naterini warangparang tomabbicaé, matellunna nakko sisala-salani taué
ilalengpanua, tanranna toparo narekko maeloni baiccu tanamarajaé.”
(adapun yang menyebabkan , apabila raja yang memerintah memiliki
selera/keinginan yang tinggi melebihi kemampuannya,kedua apabila pejabat
pemerintah menerima sogok, dan ketiga apabila apabila terjadi perselisihan di
dalam negeri, tanda itu pula lah negara besar menjadi kecil.
C. SYEKH
YUSUF
Syekh Yusuf merupakan putera asli Makassar, lahir di Kerajaan Gowa
pada tahun 1626 M. Dari asal usulnya, beliau merupakan keturunan bangsawan di
kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja
Banten, Gowa dan Bone. Ayahnya, Abdullah, bukan bangsawan, tetapi ibunya,
Aminah, keluarga Sultan Ala al-Din. Dia dididik menurut tradisi Islam, diajari
bahasa Arab, fikih, tauhid. Pada usia 15 tahun dia belajar di Cikoang pada
seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana.
Dari segi ketokohannya, ia bukan hanya ulama syariat, tapi juga
sufi, pemimpin tarikat, pengarang, pejuang, dan musuh besar kompeni Belanda.
Oleh pemerintah kompeni di Hindia Timur (Indonesia), Syekh Yusuf dianggap duri
dalam daging, hingga ia diasingkan ke Ceylon (Srilangka), kemudian dipindahkan
ke Afrika Selatan dan wafat di pengasingannya, Cape Town, pada tahun 1699 M.
Pada zamannya (abad ke 17), Syekh Yusuf dikenal hingga empat
negeri, yakni: Makkah, Banten, Sulawesi Selatan, Ceylon dan Afrika Selatan.
Beliaulah peletak dasar kehadiran komunitas Muslim di Afrika Selatan dan Ceylon
bahkan dianggap bapak bangsa rakyat Afrika Selatan, karena perjuangannya
mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan
warna kulit. Bayangkan, sejak usia 18 tahun (abad ke 17) Syekh Yusuf telah
mengembara selama 20 tahun untuk mencari ilmu dari Makassar ke Banten, Aceh,
Yaman, Makkah, Madinah dan Damaskus, mendalami tasawuf dan mengajar di Masjidil
Haram pada usia 38 tahun.
D. SULTAN
HASANUDDIN
I Mallombasi Matatawang
Sultan Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape, atau lebih tersohor dengan gelar
Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa XVI,
(1653-1669). Yang terkenal keberaniannya menantang penjajah Belanda
dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa. Ia terkenal dengan julukan Ayam Jantan dari Benua
Timur.
I Mallombasi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16
dengan gelar Sultan Hasanuddin pada bulan Nopember 1653 menggantikan ayahnya
pada saat beliau berusia 22 tahun. Dua tahun setelah dinobatkan Sultan
Hasanuddin kemudian menikahi I Bate Daeng Tommi atau I lo'mo Tombong Karaeng
Pabineang dan menjadi permaisurinya. I Bate Daeng Tommi adalah putri Mangngada'
Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang mangkubumi Kerajaan Gowa.
Begitu berani, kesatria dan bijaksana dalam tiap tindakannya,
sehingga Sultan Hasanuddin dihormati dan disegani oleh pihak lawan dan kawan.
Oleh sebab itu, dari pihak Belanda sendiri Sultan Hasanuddin itu dinamainya :
,,Haante van het Oosten” (Ayam
Jantan Benua Timur), dan V.O.C sendiri mengakui hal tersebut.
Sultan Hasanuddin adalah
seorang raja yang sangat cakap dalam ilmu pengetahuan maupun pemerintahan .
tidak heran ketika masa pemerintahan ayahandanya dia ernah dipercaya memegang
tiga portofolio pemerintahan yaitu Urusan Dalam Negeri , Luar Negeri, dan
Pertahanan Negara. Selain itu, ia juga diserahi tugas dan jabatan berpangkat
yang disebut “Karaeng Tumakkajannangang”, yang mengurus pertahanan Negara
dengan menggebleng putra-putra raja dan gellarang agar berjiwa ksatria dan
berbudi luhur.
Keperkasaan Sultan
Hasanuddin sebagai panglima perang, yang berhasil mengantar Gowa sebagai
kekuatan maritime yang hebat dalam setiap pertempuran melawan Belanda sehingga
Hasanuddin dan pasukannya digelari “Ayam-ayam Jantan dari Benua Timur” oleh
Belanda.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan
kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha
menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk
melawan Kompeni. Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan
pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18
November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan
Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan
tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan
perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni,
hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng
Sombaopu
pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian
mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.Wafat di Katangka ,Makassar dan dimakamkan di Kompleks makam raja-raja
Gowa, termasuk di dalam pemakaman itu sebuah batu yang digunakan sebagai tempat
pelantikan bagi raja-raja Gowa, dan sebuah mesjid kuno.
E. Sultan
Alauddin
Nama asli dari Sultan Alauddin adalah I Mangarangi Daeng Manrabia,
yang merupakan raja gowa XIV yang pertama-tama memeluk agama islam. Pembawa
agama islam di kerajaan gowa tersebut adalah tiga Dato dari negeri Minangkabau,
masing-masing Dato ri Bandang, Dato Petimang dan Dato Tiro.
Sebelum Islam masuk, para raja Sulawesi selatan sudah pernah
membuat perjanjian yang isinya : siapa yang menemukan suatu jalan yang lebih
baik, berjanji untuk memberitahukan tentang jalan itu kepada raja-raja lainnya.
Islam dianggap sebagai jalan terbaik, maka tugas Sultan Alauddin adalaha menyampaikannya
kepada raja-raja lainnya.
Namun perjanjian itu telah banyak disepelekan oleh sebagian raja-raja Sul-sel. Sultan Alauddin yang
menjadikan Gowa sebaga pusat penyebaran agama islam di wilayah timur nusantara
ini, terus mengembangkan Islam baik secara damai maupun perang.
Beberapa kerajaan di daerah Bugis, seperti Bone,
Wajo, Soppeng, Sidenreng dan lainnya menolak keras ajakan Raja Gowa. Akibat
dari penolakan itu, raja gowa terpaksa angkat senjata dan
mengirim bala tentaranya ke daerah itu.
Tahun 1608 beberapa pasukan gabungan kerajaan Bugis mengalahkan Gowa, namun
pada tahun berikutnya, semuanya berhasil ditundukkan dan bersedia menerima
Islam sebagai agama kerajaannya. Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609, Wajo
tahun 1610, Bone tahun 1611. Perang Islam di
tanah Bugis saat itu disebut Musu Assellengeng (Perang Islam).
Setelah sekian lama memerintah, Sultan Alauddin
wafat pada 15 Juni 1639 setelah 45 tahun lamanya mengendalikan pemerintahan.
Beliau mendapat gelar Tumenangi ri
Gaukanna (Yang mangkat dalam kebesaaran kekuasaannya).
F. Amannagappa
Amannagappa sebagai salah
satu matoa (pemimpin komunitas)
di masa itu, berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan perdagangan.
"Negeri Wajo" adalah sebuah komunitas yang berhasil mempertahankan
aturannya secara independen sampai sekitar dua setengah abad, yang membuat
aturannya dari tumpukan pengalaman dan pengetahuan warganya, bahkan mampu
meluaskan pengaruh dan efektifitasnya lewat intelektualitas. Berikut rangkuman
riset tentang Negeri Wajo di Makassar. Pengangkatan Amanna Gappa sebagai
pemimpin dagang seluruh Makassar, dan detil ongkos muatan.
Delapan bulan setelah
Amanna Gappa menjadi matoa, dia dipanggil oleh gubernur di Fort Rotterdam dan
diangkat menjadi kepala seluruh pedagang di Makassar. Detil ongkos angkutan
barang menjelaskan tentang berapa yang harus dibayarkan jika muatan seorang
pedagang akan diantar dari Makassar ke beberapa pelabuhan di kawasan Nusantara.
Kota-kota itu antara lain, Johor, Aceh, Sulu, Kutai, Banjar, Pasir, Sukadana, Palembang,
Bangka, Belitung, Manggarai, Bali, dan tentu saja Batavia. Sayang sekali ade allopi-loping yang memuat detil
jalur, ongkos dan aturan dagang, tidak termaktub dalam naskah yang khusus
bicara tentang matoa dan masa pemerintahannya ini.
Amanna Gappa, seorang peletak dasar Tentang hukum Maritim
Internasional. lontarak Amanna Gappa Dikenal dalam bahasa bugis sebagai ade
alloping-loping Bicarana pabalue. Kata ini berasal dari bahasa bugis yang jika
diartikan secara harfiah berarti Aturan pelayaran dan perdagangan.
Amanna Gappa adalah seorang Ketua Komunitas wajo atau lebih
dijenal dengan istilah matoa komunitas wajo di Makaassar. Amanna Gappa kemudian
diangkat menjadi Kepala perniagaan di makassar pada abad ke-17 di Kota maritim
Makassar. disinilah Amanna gappa kemudian membuat semacam undang-undang
pelayaran dan perdagangan. Kelak Dasar daru UU Amanna gappa ini kemudian
diadopsi di Eropa dan sampai saat ini dipakai sebagai Hukum maritim
Internasional.
G. Pongtiku
Potingku atau Ne’ Baso dilahirkan di Pangala, Toraja. Sebagai
seorang anak pemimpin adat yang mempunyai pengaruh besar di Pangala
dan daerah di sekitarnya. Pong
Tiku sering diajak sang ayah untuk menghadiri pertemuan dengan para pemimpin
adat lainnya. Maksud pertemuan tersebut adalah untuk membahas segala hal yang
berhubungan dengan masalah kemasyarakatan.
Karena seringkali mendampingi
sang ayah ketika menjalankan perannya sebagai pemimpin adat, kemampuan
kepemimpinan Pong Tiku pun semakin terlihat. Saat terjadi konflik bersenjata
yang melibatkan Pangala dan daerah Baruppu, ia mengambil alih kepemimpinan
pasukan dari ayahnya yang sudah memasuki usia senja.
Selanjutnya pada tahun 1898,
ia terlibat dalam "Perang Kopi". Dinamakan perang kopi karena Toraja
sebagai penghasil kopi yang bermutu tinggi menjadi rebutan para penguasa daerah
di sekitarnya. Dalam peperangan itu, Pong Tiku berhadapan dengan pasukan Bone.
Namun pada akhirnya peperangan antara Pangala dan Bone dapat diselesaikan
dengan damai.
Berkaca dari pengalamannya
ketika terlibat dalam Perang Kopi, Pong Tiku kemudian mulai menyadari bahwa ia
harus memperkuat pertahanan daerahnya. Ia memanfaatkan kopi sebagai alat barter
untuk memperoleh senjata. Benteng-benteng pun mulai dibangunnya di tempat yang
dianggapnya strategis, yakni di atas bukit-bukit karang yang terjal sehingga
sulit dicapai oleh pihak lawan. Salah satu benteng yang kuat itu bernama
benteng Buntubatu.
Selain memperkuat pertahanan
daerahnya dengan memperbanyak persenjataan dan membangun benteng, ia juga
menjalin persahabatan dengan para penguasa lain di Toraja. Persiapan yang telah
dilakukan itu memang sangat berguna di kemudian hari ketika harus menghadapi
gempuran Belanda. Seperti pada saat Belanda melancarkan ekspedisi militer guna
menaklukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi
Selatan yang tidak mau mengakui
kekuasaan mereka.
Ekspedisi militer tersebut
terjadi pada tahun 1905. Saat itu sejumlah kerajaan berhasil ditaklukkan,
seperti Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Masih di tahun yang sama di bulan
September, menyusul Datu Luwu yang terpaksa mengakui kekuasaan Belanda.
Kemudian komandan militer Belanda di Palopo, yang merupakan ibu kota Luwu
mengirim surat kepada Pong Tiku yang meminta agar Pong Tiku melaporkan diri di
Rantepao dan menyerahkan semua senjatanya kepada Belanda.
Karena tekad Pong Tiku sudah
bulat untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bagi rakyatnya, tentu saja
permintaan tersebut ditolaknya. Akibat penolakan itu, pecahlah perang antara
Belanda dan Pong Tiku. Pada tanggal 12 Mei 1906, Belanda mulai melancarkan
serangan pertamanya ke Pangala, namun serangan itu gagal. Masih di tahun yang
sama, tepatnya di awal Juni 1906, kegagalan kembali diterima Belanda ketika
melakukan penyerangan terhadap benteng Buntuasu.
Dua kegagalan itu membuat
Belanda menambah jumlah pasukan dan persenjataannya. Blokade pun dilakukan
untuk mencegah masuknya logistik terutama air ke dalam benteng-benteng Pong
Tiku. Untuk menahan serangan Belanda, kondisi alam di daerah Toraja yang
berbukit-bukit pun ikut dimanfaatkan pasukan Pong Tiku. Batu-batu berukuran
besar digelindingkan bila pasukan Belanda berusaha memanjat bukit-bukit karang
menuju benteng.
Air cabaipun digunakan untuk
menghalau pasukan Belanda yang berhasil mendekati dinding benteng. Akan tetapi,
Belanda yang berbekal peralatan perang yang jauh lebih lengkap menyebabkan
peperangan tak seimbang. Pasukan Pong Tiku pun lebih banyak menderita kerugian,
gempuran meriam yang secara bertubi-tubi merusak bangunan benteng. Pong Tiku
pun terpaksa mengosongkan beberapa benteng. Akan tetapi, benteng Buntubatu yang
merupakan benteng utama sekaligus markas Pong Tiku belum berhasil dikuasai
Belanda sampai bulan Oktober 1906.
Belanda kemudian menawarkan
perdamaian kepada Pong Tiku. Namun tawaran itu ditolaknya dan ia hanya bersedia
mengadakan gencatan senjata. Hal itu bertujuan agar ia dapat menghadiri upacara
pemakaman jenazah orang tuanya secara adat. Oleh karena itu, ia pun
meninggalkan benteng Buntubatu. Kesempatan itu langsung digunakan pihak Belanda
untuk memasuki benteng tersebut meskipun masa gencatan senjata belum berakhir.
Seusai menghadiri pemakaman
jenazah orang tuanya, Pong Tiku kemudian menuju benteng Alla. Di sana telah
berkumpul para pejuang dari berbagai daerah di
Sulawesi Selatan. Benteng Alla pun diserang Belanda pada tanggal 12 Maret 1907. Akibat serangan itu puluhan pejuang gugur dan ditawan. Namun, Pong Tiku berhasil menyelamatkan diri. Dalam pelariannya dari satu tempat ke tempat lain, ia terus berusaha mengobarkan semangat perjuangan melawan Belanda.
Sulawesi Selatan. Benteng Alla pun diserang Belanda pada tanggal 12 Maret 1907. Akibat serangan itu puluhan pejuang gugur dan ditawan. Namun, Pong Tiku berhasil menyelamatkan diri. Dalam pelariannya dari satu tempat ke tempat lain, ia terus berusaha mengobarkan semangat perjuangan melawan Belanda.
Belanda masih terus melakukan
pengejaran hingga akhirnya ia berhasil ditangkap di Lilikan pada awal bulan
Juli 1907. Setelah berhasil ditangkap, ia kemudian dipaksa untuk menandatangani
surat pernyataan yang isinya mengakui kekuasaan Belanda. Namun, meskipun berada
dalam tekanan, Pong Tiku tetap menolak menandatangani surat tersebut.
Karena terus-menerus melawan
dan menolak bekerjasama, Pong Tiku pun ditembak mati Belanda di tepi Sungai
Sa'dan. Kematian Pong Tiku sekaligus menandai berakhirnya perlawanan terhadap
Belanda di Toraja. Toraja merupakan daerah terakhir di Sulawesi Selatan yang
jatuh ke tangan Belanda
H. Puang ri
maggalatu
Salah seorang Arung Matoa yang terkenal karena jujur dan adilnya
terhadap rakyatnya, ialah La Tanampare’ Puang ri Magalatu, Arung Matoa ke-IV
dari Wajo yang mulai memerintah kira-kkira pada akhir abad ke-15. Nama ayahnya
ialah La Tompawanua, yang kawin ke
Palakka dengan We Tenrinai. Dari perkawinan itu lahirlah La Tanampare’ Puang ri
Magalatung.
Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun disempurnakan
segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika
pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara
sebagai abdi rakyat (public servent) dan konsep Rule of Law (hukum yang
dipertuan bukan raja).
Salah satu Ade
Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang
selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kabupaten Wajo (walaupun
disingkatkan), antara lain berbunyai :
”Maradeka towajoe najajian alena maradeka, tanaemmi ata, naiyya tomakketanae maradeka maneng, ade assama turusennami napopuang”.
Artinya:
Orang-orang Wajo, adalah
orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi,
sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang
disetuji bersama yang mereka pertuan.
Falsafah orang Bugis yang pada gilirannya menjadi
pandangan hidup dan pola perilaku, seperti ditemukan melalui Lontarak
Pammulanna Wajo yang memuat petuah-petuah Puang ri Maggalatung. Tentang etos
kerja orang Bugis disinyalir merupakan bagian makna siri’ dalam
implementasinya.
Pentingnya aplikasi makna siri’‘ terhadap para
penguasa (raja-raja) Wajo, tertera dalam pesan Puang ri Maggalatung: Padecengiwi
bicara-e, Parakai ampe-ampe malebbi-e, Gau-gau lalo’ tennga-e, Pari tengngai
bicara ri tennga-e. Pesan ini bermakna “perbaiki cara bicara jika
berbicara, perbaiki tingkah laku mulia dan terhormat, gerak langkah sederhana
atau tidak angkuh dan tidak sombong, tempatkan di tengah untuk pembicaraan di
tengah, tidak melebihi, tidak memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang ada diatas, maka dapat di
tarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Nene’ Mallomo dikenal sebagai seorang
intelektual yang mempunyai kapasitas dalam hukum dan pemerintahan serta
berwatak jujur dan adil kepada seluruh masyarakatnya.
2. Kajao
Laliddong ( La Mellong ) mempunyai alur pemikiran diantaranya; nilai-nilai dasar;
lempuk,adatongeng, getteng, sipakatau, dan mappesona ri dewata seuwae, menjadi
sumber amaccang. Dari nilai dasar dan amacang dilakukan dalam wujud norma-norma
pangadereng dan hukum berupa; adat, bicara, rapang dan warik.
3. Syekh
Yusuf sebagai seorang pejuang sekaligus
ulama. Sebagai pejuang, Syekh Yusuf telah menunjukkan dirinya melalui catatan-catatan sejarah. Ia menjadi
seorang pemimpin pasukan yang berdiri langsung di depan menghadapi Belanda. Ia
telah berjasa kepada bangsa dan Negara dalam perjuangan suci mempertahankan
kemerdekaan dari penjajahan.
4. Sultan
Hasanuddin yang digelari “Ayam Jantan dari Benua Timur”. Dia sebagai pahlawan
nasional bangsa, putra Makassar. Sepanjang hayatnya, ia telah mengguratkan diri
dalam suatu episode sejarah yang diwarnai peperangan untuk membebaskan dari
kolonialisme Belanda di belahan timur Nusantara.
5. Sultan
Alauddin, merupakan raja gowa XIV yang
pertama-tama memeluk agama islam.
Sultan Alauddin yang menjadikan Gowa sebaga pusat penyebaran agama islam di
wilayah timur nusantara.
6. Amannagappa
merupakan seorang pelaut bugis yang berasal dari Wajo, telah menyusun
undang-undang maritime ynag dikenal sebagai hukum Amanna Gappa.
7. Pongtiku merupakan pahlawan
nasional yang berasal dari toraja. Beliau dikenal tokoh yang sangat menentang
Penjajahan Belanda.
8. Puang ri Magalatu, merupakan
seorang Arung Matoa uang
terkenal karena jujur dan adilnya terhadap rakyatnya. Beliau merupakan Arung Matoa Wajo Ke-IV,
beliau juga dikenal sebagai peletak Undang-Undang di negerinya.
B. Saran
Melalui pembahasan mengenai tokoh-tokoh pemikir Sulawesi-Selatan kiranya
dapat dijadikan pedoman bagi generasi-generasi penerus bangsa, khususnya
Sulawesi Selatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mangemba, H.D. 1956. Kenallah Sulawesi Selatan. Jakarta : Timun Mas
Tika,
Zainuddin. dkk. 2007. Profil Raja-Raja
Gowa.. Makassar : Pustaka Refleksi
Tudjimah,
Prof. Dr. 1997. Syek Yusuf Makassar Rwayat dan Ajarannya. Jakarta : UI-Press
http://andie-anakkampung.blogspot.com/2010/08/pahlawan-tana-toraja-pongtiku.html
(diakses
pada tanggal 20 Maret 2013)
http://darisrajih.wordpress.com/2008/03/30/riwayat-syeikh-yusuf-al-maqassari/
(diakses
pada tanggal 20 Maret 2013)
http://endraithuujelek.wordpress.com/2009/10/29/sekilas-tentang-nene-mallomo-salah-satu-
cendikiawan-sulsel/ (diakses pada tanggal 20 Maret 2013)
http://muhammadrusli89.blogspot.com/2013/01/cendekiawan-bugis-kajao-laliddong.html
(diakses
pada tanggal 20 Maret 2013)
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar ............................................................................................................ i
Daftar
Isi ....................................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan
A.
Latar
Belakang ................................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah ........................................................................................... 1
BAB II Pembahasan
A.
Nene
Mallomo ................................................................................................. 2
B.
Kajao
Laliddo .................................................................................................. 3
C.
Syek
Yusuf ....................................................................................................... 4
D.
Sultan
Hasanuddin .......................................................................................... 5
E.
Sultan
Alauddin .............................................................................................. 6
F.
Amanagappa
.................................................................................................... 7
G.
Pongtiku
........................................................................................................... 8
H.
Puang
ri Magalatu ........................................................................................... 10
BAB III Penutup
A.
Kesimpulan
...................................................................................................... 12
B.
Saran
................................................................................................................. 13
Daftar Pustaka
ii
|
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah yang
berjudul, “ Tokoh Cendekiawan / Pemikir
Sulawesi Selatan ”, ini dengan penuh kemudahan. Tanpa
pertolongan Dia mungkin penulis tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini,
walaupun telah diusahakan secara maksimal. Namun, penulis berharap agar laporan
ini dapat berguna untuk menambah pengetahuan pembaca tentang tata cara
penulisan kutipan,catatan kaki, Rujukan, dan daftar pustaka dalam penulisan
malakah,artikel, maupun karangan ilmiah.
Penulis
tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, baik secara moril maupun materil mulai dari proses pencarian bahan
hingga penyusunan makalah ini. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis merasa
perlu untuk mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.
Ibu Hunaeni, S.S, M.Si selaku dosen
pengajar dalam mata kuliah Kapita Selekta
Kebudayaan, yang telah memberikan arahan-arahan
dalam proses penyusunan makalah ini.
2.
Teman-teman sekelas
kami yang senantiasa memberikan banyak partisipasinya baik kritik dan saran
terhadap makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini masih memiliki beberapa kekurangan. Penulis mohon untuk saran dan kritiknya untuk lebih menyempurnakan makalah
ini.
Makassar,
1 Maret 2013
Kelompok V
i
|
0 komentar — Skip ke Kotak Komentar
Posting Komentar — or Kembali ke Postingan